Hampir dua minggu ini bayanganku sibuk dengan rumah
kontrakan kami yang baru. Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Memperbaiki
talang yang bocor, menggali lubang untuk resapan, membuat pagar bambu, mengecat
kamar mandi, memperbaiki engsel pintu dan jendela, memasang kabel-kabel
listrik.
Tapi kapasitas listrik di rumah itu hanya 460 watt. Tidak
cukup untukku hidup. Aku biasa hidup paling sedikit dengan listrik yang
berkapasitas 900 watt. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup dengan
460 watt. Tapi aku akan mencobanya, hidup dengan 460 watt. Mungkin tanganku
yang kanan tidak harus mendapatkan listrik. Biarkan tanganku yang kiri saja
yang mendapatkan listrik, karena tanganku yang kanan lebih biasa kerja dengan
tenaga alamiah, tidak terlalu membutuhkan listrik.
Kepalaku yang botak selalu membutuhkan listrik yang lebih
besar. Kadang aku sebel, karena kepalaku mengambil listrik terlalu banyak
dibandingkan dengan tubuhku yang lain. Kalau listrik tiba-tiba mati, karena
pemakaian yang berlebihan, aku langsung bisa menduga pasti itu karena kepalaku
yang botak yang terlalu rakus dengan listrik. Karena sebel, kadang aku biarkan
listrik tetap mati, lalu kepalaku mulai berwarna keabu-abuan seperti gusi pada
kedua ekor anjingku.
Uang yang dikeluarkan menjadi sangat besar untuk perbaikan
rumah itu. Padahal aku mengontraknya hanya satu juta setahun. Sebagai seorang
penulis, aku menjadi sangat kerepotan. Tak ada honor untuk kontrak rumah.
Beberapa teman membantuku. Ah… Han, Boi, Katon, Wianta… tengkeyu. Jewe yang
baru kukenal bersama istrinya yang sedang hamil ikut membantu sibuk-sibuk.
He-he… tengkeyu. Tengkeyu, man.
Tubuh bayanganku seperti awan gelap yang menyimpan hujan.
Aku kadang cemas melihatnya bekerja berlebihan. Khawatir hujan tumpah dari
tubuhnya. Dan aku tak tahu bagaimana mencegahnya bila terjadi banjir, walau
sudah dibuatkan lubang resapan air sedalam enam buah bis beton. Hanya sekitar
tiga meter dalamnya di halaman depan. Dan sebuah galian terbuka di halaman
belakang.
Rumah itu sebuah kubangan besar memang. Satu-satunya rumah
yang berdiri sekitar tiga meter di bawah jalan raya. Kubangan terjadi karena
tanah di atas rumah itu sebelumnya pernah disewakan untuk pembuatan batu bata.
Tanah untuk pembuatan batu bata diambil langsung dari tanah yang disewakan itu.
Terus dikeduk, sehingga terjadi sebuah kubangan besar.
Di sebelah rumah, ada bilik sederhana berdiri, tempat
seorang petani biasa beristirahat. Kadang aku seperti melihat bayangan hitam
mirip binatang menyelinap ke dalam gubuk itu. Kadang aku ragu, apakah bayangan
itu bayanganku sendiri yang melompat dari tubuhku untuk menyendiri dalam gubuk
itu. Tapi tak ada siapa-siapa dalam gubuk itu, hanya sebuah bale tua terbuat
dari bambu untuk tidur.
Rumah ini sudah dua tahun kosong. Tak ada orang yang
mengontrak. Sebelumnya pernah ditinggali sekelompok seniman musik dan perupa.
Kehidupan mereka mirip dengan kaum yang berusaha mengusir negara dan agama dari
tubuh mereka, termasuk mengusir rezim kesenian. Membiarkan tubuh mereka bebas
tanpa rezim yang mendiktekan moralitas bikinan yang tidak sesuai dengan kodrati
mereka sebagai manusia. Aku melihat mereka seperti sufi tanpa negara dan tanpa
agama.
Mereka tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara
rumah dan jalan raya. Maka rumah ini penuh dengan mural karya mereka, dari
teras depan hingga kamar mandi; beberapa lukisan berjamur, timbunan pasir yang
mengotorinya, dan sebuah tempat pembakaran dari tanah untuk memasak di
tengah-tengah ruang. Dapur memang bisa berada di mana saja dalam rumah ini.
Seorang teman bercerita, di antara lukisan itu terdapat
lukisan seorang pelukis perempuan yang mengendarai motor menjelang pagi dalam
keadaan mabuk, lalu mengalami kecelakaan dan mati. Pelukis perempuan itu sudah
mati, tapi lukisannya masih ada. Ada di depanku. Lukisan tentang seorang penari
balet yang terperangkap dalam panggung akrobat.
Aku seperti melayang dalam ruang yang bersayap. Waktu yang
membuat sebuah pintu, tapi aku tak tahu apakah pintu itu untuk ke luar atau
untuk ke dalam. Mereka juga mungkin tidak membuat garis perbedaan yang
memisahkan antara kehidupan dan kematian. Mungkin tubuh mereka seperti angin.
Tidak sama dengan bayanganku yang seperti awan gelap dan menyimpan hujan.
Sepasang anjing kami, Kopi dan Kremi, langsung kawin di
rumah ini dan langsung hamil. Kadang mereka menggonggongi bayanganku. Kalau
mereka menggonggong sedemikian rupa, kecemasanku muncul lagi. Aku khawatir awan
hitam pada bayanganku menumpahkan hujan seperti langit yang berlubang.
Lembab. Tembok seperti mengeluarkan keringat bukan karena
panas, tetapi karena lembab. Beberapa genteng kaca dan bambu-bambu tua pada
atapnya. Aku bisa melihat gerimis lewat genteng kaca itu, kadang
kilatan-kilatan petir. Kalau hampir satu jam aku memandangi genteng-genteng
kaca itu, aku mulai lupa apakah tubuhku terbaring di bawah memandang genteng-genteng
kaca itu, atau tubuhku terbaring di atas dan genteng-genteng kaca itulah yang
memandangiku.
Antara aku dan genteng kaca, seperti sepasang mata yang
hidup dalam sebuah boks. Sepasang mata itu saling berganti posisi memandang
satu sama lainnya. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Mata memandang
mata. Dan mereka tidak bisa saling mendusta.
Rasanya aku tak ingin punya kamar mandi. Dan mandi di ruang
terbuka di halaman belakang. Orang lain mungkin akan melihatku telanjang, tapi
aku melihat tubuhku sedang mandi, membersihkan diri dari kotoran. Rumah tanpa
kamar mandi seperti sebuah legenda-legenda tua tentang bidadari yang mandi di
sungai. Aku tak tahu apakah bidadari itu sungguh-sungguh mandi di sungai, atau
sungai yang justru sedang mandi dalam tubuh bidadari-bidadari itu.
Kira-kira 10 tahun yang lalu, aku pernah datang ke rumah
ini. Rumah yang pernah dihuni Dadang Christanto, seorang perupa yang kini
menetap di Australia sejak meletusnya reformasi. Dan banyak orang yang
meninggalkan Jakarta atau meninggalkan Indonesia setelah itu. Dadang menyewa
tanah ini selama 15 tahun, dan memasang dua buah rumah Jawa dalam ukuran kecil.
Ong cerita bahwa Dadang membeli rumah Jawa itu harganya masih 650 ribu. Harga
yang kini tidak cukup untuk hidup seminggu.
Aku merasa betapa kian terpisahnya nilai uang dengan nilai
barang. Uang dan barang kian tidak memiliki hubungan untuk mengukur hubungan
antarmanusia. Rasanya hidup semakin sunyi dalam hubungan seperti ini. Kesunyian
yang membuat kawat berduri dari leher kita hingga saat kita menyalakan kompor
untuk memasak air.
Air yang mendidih dalam panci sama dengan ketakutan yang
berkeliaran di jalan raya. Betapa malangnya hidup ini, kalau kita hidup hanya
untuk terus-terusan berhadapan dengan ketakutan.
Bayang-bayangku mulai memasang pagar bambu. Menanam
tanaman-tanaman liar yang aku ambil dari kebun sebelah. Kebun yang juga
ketakutan setiap saat akan tergusur, lalu berdiri sebuah bangunan baru, entah
untuk rumah atau untuk ruko. Dan rumah untuk air dan tanaman kian berkurang
lagi, diambil oleh beton-beton.
Lalu bayang-bayangku begitu sibuk membongkari setiap halaman
yang sudah tertutup semen. Membongkari dengan rasa panik yang berlebihan, agar
rumah tempat kami tinggal bisa berbagi halaman dengan air. Rasa panik agar kalau
air datang tidak ikut tidur bersama kami dengan kasur dan bantal yang sama.
Rasa panik kalau-kalau rumah kami berubah menjadi sebuah telaga kecil.
“Dang, apakah rumah ini pernah mengalami banjir?” tanyaku
kepada Dadang. Dadang ternyata juga sedang mencari rumah di Australia dalam
waktu yang bersamaan dengan saat aku pindah ke rumahnya, karena dia harus
pindah ke kota lain.
“Ya, kalau hujan besar, air akan datang dari halaman depan
dan halaman belakang. Rumah dari halaman sebelah juga ikut mengirim air ke
halaman belakang,” jawab Dadang.
Aku teringat 1.000 patung-patung Dadang yang dipasang dengan
sebagian tubuh-tubuh patung itu tenggelam di laut, di Ancol, mungkin sekitar 15
tahun yang lalu. Sebuah instalasi yang mengingatkanku tentang manusia-manusia
yang hidupnya dalam keadaan setengah tenggelam. Setengah tubuhnya ada di dalam
air dan setengahnya lagi ada di luar. Manusia yang oleh keadaan tertentu harus
hidup di antara sebagai ikan dan sebagai kodok. Sebagian tubuhnya yang berada
di dalam air tidak bisa berenang seperti ikan. Dan sebagian lagi yang berada di
luar air tidak bisa melompat seperti kodok.
Aku tak tahu apakah patung-patung itu sekarang berada di
dasar laut atau di sebuah museum di luar negeri. Tapi aku tak yakin ada museum
yang terbuat dari laut, dan kita bisa melihat hempasan-hempasan ombaknya lewat
kaca jendela museum. 1.000 patung Dadang ada di dalamnya, mungkin diberi judul:
“Instalasi Manusia Pengungsi”.
Rumah yang aku tempati kini mungkin juga sebuah museum.
Museum untuk berbagai cerita dari para penghuni sebelumnya. Di antaranya
seorang manajer untuk furnitur di Jepara. Manajer itu orang asing. Ketika dia
meninggalkan rumah ini, dia juga meninggalkan sejumlah perabot antik yang kini
raib entah ke mana. Aku jadi ikut ketakutan pompa listrikku akan hilang dicuri.
Kalau ada yang mencuri pompa listrikku, aku harus kembali menimba air dari
sumur.
Rumah itu memang terus bercerita. Hampir setiap hari selalu
ada tema baru yang muncul. Dan aku mulai kehabisan uang. Aku harus punya uang
agar rumah itu terus bercerita. Ketika aku tak punya uang, rumah itu mirip
dengan peti mati. Rumah itu memang hampir tak ada bedanya dengan peti mati.
Kalau aku mati, pintu dan jendela-jendelanya tinggal ditutup, maka rumah itu
pun telah berubah menjadi peti mati.
Peti mati tidak memerlukan pintu dan jendela-jendela, bukan?
Karena itu pintu dan jendela-jendelanya memang harus ditutup.
Hmmm…
Hmmm…
He-he-he.
Fit, sayangku, hari ini Petrus akan datang bersama Miko. Dia
akan datang dengan sepeda yang stangnya tinggi melebihi kepalanya sendiri. Dia
akan datang dengan sebotol Vodka, saxophon, dan sebuah harmonika. Dia akan
bernyanyi tentang post-realisme.
Bayang-bayangku mulai berubah jadi hujan. Hujan yang
berjalan-jalan hingga ke kamar tidur kami. Air seperti tamu agung yang datang
dari halaman depan dan halaman belakang. Air tak berdinding seperti makhluk
buta memasuki rumah kami. Aku menyambutnya dengan ember-ember. Aku terus
menggali setiap halaman yang masih bisa digali untuk tempat duduk air. Aku
terus menggali.
Dan rumah itu semakin dalam seperti sebuah sumur. Waktu
terasa dingin, bergerak dari punggungku hingga jari-jari tanganku yang terus
mengangkut tanah dengan ember. Perutku seperti tertekuk ke dalam, menahan
beratnya tanah dalam ember yang telah bercampur dengan air.
Aku sangat terkejut ketika tiba-tiba aku melihat
bayang-bayang mataku sendiri yang dipantulkan cahaya di permukaan air sumur.
Mata menatap mata. Aku yakin itu adalah bayangan mataku sendiri, dan bukan
bayangan mata air. Kalau itu juga adalah bayangan mata air, maka aku harus
menerima kenyataan bahwa air memiliki mata.
Hujan mulai berhenti. Langit mulai terang, biru yang tipis
dan warna yang masih keabu-abuan. Perlahan-lahan aku mulai melihat
bayang-bayang timba sumur menggantung di atas. Talinya yang terbuat dari karet
ban menjulur hingga permukaan sumur.
……
Aku melihat hidup.
Comments
Post a Comment