Aku adalah Fey. Nama lengkapku, Fey
Narasi Aves. Sebutan lainku adalah Apes. Justru Apes itulah nama terkenal di
kampungku. Entah itu terlalu menyakitkan untukku, atau justru menyenangkan. Selalu
dipuji para bapak dan ibu guru di sekolah karena Aves adalah nama latin dari
Burung di Biologi. Tapi, teman-teman di sekolah pun benar dengan memanggilku
dengan sebutan Apes. Tak masalah bagiku, karena itu sebuah kenyataan yang tak
perlu pembuktian sedetail karya ilmiah.
Kejadian pertama, teman-teman sekomplek
rumahku. Mereka selalu mentertawakanku. Suatu ketika aku tengah bermain di jam
luangku. Bermain petak umpet. Tak ada tempat yang menurutku aman. Jadi,
kuputuskan untuk mengumpat di rumah seorang nenek tua yang menyebalkan. Sebut
saja dengan nenek Dakem. Aku ikut
mengumpat disana, tepatnya di kamar mandinya. Menurutku itu adalah tempat yang
aman. Dan seketika, pintu kamar mandi terbuka. Kretek, pintu kayu rapuh
itu terbuka. Disini, aku takut akan kehadiran dari seorang temanku. Bahwa suatu
ketika aku akan di cap menjadi anak yang tak bisa mengumpat di desa Karang
Tengah. Terlihat seorang memakai sarung setengah badan, dengan gelung di rambut
putihnya. Membawa gayung, patut jika dijuluki nenek gayung.
“Astaghfirullah.. mamake..” lirihku
namun tetap dalam keadaan terdiam di belakang pintu.
Nenek tua itu tak menyadari ragaku
disini. Dan ketika dia masuk dan lekas untuk menutup pintunya. Kretek,
suara bising itu kembali berbunyi. Dan Hah? Dia sekarang melihatku. Terdiam,
untuk bersiap mengambail suaru lantang. Berteriak…
“HhahaHahahHahah!!!!!!!!!!”
“Nenek, maafkan aku. aku tahu nenek
baik. Aku tak ingin dijuluki dengan sih kalah dari Karang Tengah” Jelasku
perlahan sedetik setelah nenek memekakan telinga.
“Kurang ajar. Kau anak Cuka..”
“Nenek, nama ibuku bukan cuka. Tapi,
Cika. Bukankah bagus!!” sambungku.
Dan perlahan nenek mengangkat gayung
coklatnya dan.. Byur… diriku
disiramnya. Basah kunyup. Hingga tiga kali aku disiram. Hampir aku meminum air
tak steril itu. Hingga aku pergi meninggalkannya. Tapi, masih saja nenek itu
melontarkan kata-kata yang tak patut diperdengarkan oleh seorang anak seumurku.
Kulihat berbalik dengan berlari. Nenek itu mengangkat gayung setinggi kepalanya
sembari melontarkan kutukan kepadaku.
“Nenek! Awas. Peganglah sarung itu
kuat-kuat. Takut ada yang melihat”
Aku terus
tertawa. Tapi, aku juga bersedih. Karena aku pun menjadi kalah. Itu karena
nenek gayung itu. Memang tak salah teman-temanku menjulukinya dengan nenek yang
menyebalkan.
Kejadian kedua, lomba antar desa akan
segera dimulai. Tepatnya pukul tiga dini hari nanti. Aku adalah seorang anak
yang beruntung. Ditunjuk menjadi salah satu finalis dari lomba tersebut. Meski
hanya pemain cadangan. Karena pemain penggantiku tak tahu kemana akhir-akhir
ini. Dan pukul dua aku telah bersiap membahagiakan orang tuaku. Tok!tok!tok!tok!
Pintunya terketuk.
“Oh, pak saleh. Ups! Pak Sally..”
“Apes! Maafkan bapak yah,nak. Bambang
udah ada. Dan dia ada di lapangan sekarang. Jadi, kau tak bisa ikut. Maafkan
pak Sally ini, nak!” Jelasnya.
“ benarkah itu? Yah, niatnya mau
bahagiain ortu. Kagak kesampe jadinya. Gak papalah, pak. Yang pentingkan
niatnya. Meski agak kecewa dikit”
“ Meski kau tak jadi main. Tapi, bapak
yakin. Kau pasti akan terus mendukung tim desa kita. Bukan begitu, Apes?”
“ Tentu pak. Aku akan dukung. Walau
hanya 80% saja!”
Pak Sally pergi. Meninggalkanku yang
termenung kesal. Menutup pintu pun tak ada gairah. Untung saja, pak Sally
datang sebelumku pergi. Pasti aku akan lebih kesal. Hanya memaki seragam desa
tanpa bermain. Disana, terlihat skor dari lomba. Dengan keterangan seri. Aku
geram akannya. Hingga aku tak menyadari. Saking geramnya diriku. Sandal kaki
kiriku terpelanting. Melayang kearah seseorang yang tengah menelepon ikut
menonton. Tak… begitu bunyinya.
“Hey! Kau yang ada disana!! Kau Apes,
Putri Cuka!” kejutnya.
“Maafkan aku, pak. Aku tak sengaja.
Sandalnya aku ikhlaskan buat bapak saja. Dahhh!!” teriakku kian menjauh berlari
ketakutan.
Kejadian Ketiga, merupakan sambungan
dari kejadian ke dua. Aku terus berlari. Bapak itu menakutkan. Aku berlari menuju
sepeda antiku. Julukan ayah untuknya. Aku pergi, menggowes sepeda pun rasanya
sangat berat. Bak mendorong tangki berton-ton. Keringat dingin bercampur panas.
Tanganku kian bergetar. Stater sepedaku tak mudah semudah membelokan kepala.
Berat rasanya. Hingga aku berpapasan dengan pengendara sepeda motor. Aku
pengendara sepeda. Jadi aku mengalah. Tapi, dia pun sama. Ikut membelokan kea
rah kiri. Lalu kanan, kiri, kanan, kiri. Dan akhirnya aku berhenti. Dan Slep..
pak pengendara motor itu. Terjauh, tapi untung saja ada teretean hijau tak
lumayan berduri di inggir sana. Aku lihat, pak tua itu terjungkir hingga
wajahnya itu tak terlihat.
“ Maafkan aku pak! Aku terburu-buru. Nikmati
dulu sakitnya. Nasib baik ada teretea “ teriakku terus menggowes kayuh sepeda antic.
itu semua adalah kejadian yang
membuatku dijuluki sebagai Apes. Mungkin satu kapung telah mengetahuinya. Bahwa
aku adalah pembuat onar. Pembuat Apes. Apa mungkin gara-gara kutukan Nenek
Gayung yang menyebalkan itu. Tanda Tanya itu selalu saja muncul. Tapi, tak
apalah. Itu hanya sebuah nama. Justru hal itu membuatku senang. Karena aku
mulai terkenal. Panggil aku APES..
Comments
Post a Comment